Selasa, 01 Januari 2013


Sekilas tentang Perbincangan ilmu Alam dan Humaniora 
Tentang penulisan sejarah sebenarnya masih terdapat perbedaan pendapat di kubu sejarawan akademik. Perdebatan ini diakibatkan oleh perbincangan para filsuf, ahli-ahli ilmu pengetahuan alam dan sejarawan, mengeanai masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan alam (naturwissenchaften) dan ilmu-ilmu Humaniora (Geisteswissenchoften) di abad XIX. Para sejarawan sebagian terpengaruh oleh positivisme dan ada pula yang terpengaruh oleh idealisme.   Yang pertama berpendapatan bahwa tidak ada perbedaan yang esensial antara berbagai cabang ilmu, yakni sejarah adalah bagian ilmu pengetahuan alam, yang menangani secara objektif fakta alam semesta. Pendapat ini berdiri di belakang Fustel de Coulanges.[1] Kelompok ini dianggap berusaha mencari kesamaan-kesamaan yang ber-ulang dan mencari generalisasi dari kesamaan-kesamaan itu. Dominasi pikiran positivis ini sangat kuat dan berpengaruh sampai abad ke-20. 
Perbincangan tentang ilmu sebenarnya terjadi pada abad ke-19 yang melahirkan aliran positivisme, yaitu suatu aliran yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam. Para penggagas aliran positivisme ini berpendapat bahwa, cabang ilmu bisa digolongkan menjadi ilmu pengetahuan apabila memenuhi syarat, yaitu adanya dalili-dalil atau hukum-hukum, sehingga mampu membuat generalisi dan prediksi atau membuat proyeksi ke masa depan. Fakta positivis diolah melalui ilmu-ilmu alam diterima sebagai fondasi  pengetahuan yang valid.   Apabila suatu cabang ilmu tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang dimaksukan oleh aliran positivism, maka tidak dianggap sebagaimana ilmu. Oleh karena itu ilmu-ilmu selain ilmu alam  (kemanusiaan, sosial, sastra, sejarah, filsafat) menurut aliran positivis tidak dianggap  sebagai ilmu, karena dianggap tidak mampu membuat hukum-hukum atau dalil.  Dominasi pikiran positivis ini sangat kuat dan berpengaruh sampai abad ke-20.   
Dominasi pikiran positivis ini akhirnya mendapat reaksi dari kaum neo-Kantianis yang dipelopori oleh Rickert, Windelband, dan Dilthey. Mereka berpendapat bahwa ada dikhotomi dalam ilmu pengetahuan, yaitu ilmu alam dan ilmu kemanusian (kebudayaan). Baik ilmu alam maupun ilmu kemanusian masing-masing memiliki kerangka berpikir dan  kedudukan yang sama. Masing-masing ilmu baik (baik ilmu alam, maupun ilmu kemanusianaan) mempunyai ciri-ciri yang nantinya akan berpengaruh pada teori dan metologi yang digunakan pada masing-masing ilmu.

Skema dikhotomi ilmu 
Ilmu alam
Ilmu Kemanusiaan
Nomotetis
Generalisasi
Deskriptif-analitis
Eksplanasi
Kuantitatif
Obyektif
Idiografis
Keunikan
Diskriptif-naratif
Interpretasi
Kualitatif
Subyektif

Berdasarkan dikhotomi di atas menunjukkan adanya perbedaan yang cukup esensial. Masing-masing ilmu memiliki ciri, sehingga kedua cabang ilmu (ilmu alam dan ilmu kemanusiaan) masing-masing memiliki otonomi dan memiliki kedudukan yang sama. Norma ilmu alam tidak dapat dipakai untuk mengukur ilmu kemanusiaan, dan begitu juga sebaliknya.
Dalam ilmu alam penemuan sacara ilmiah didapatkan dengan menggunakan dalil atau hukum, maka dalam ilmu kemanusiaan dengan cara membuat lukisan atau gambaran tentang kejadian yang unik. Oleh karena itu perbedaan antara ilmu alam dan ilmu kemanusiaan adalah, jika ilmu alam mampu membuat generalisasi, sedangkan ilmu kemanusiaan justru memperhatikan hal-hal atau kejadian yang khusus. Generalisasi dicapai melalui analisis, dan gambaran atau lukisan diperoleh melalui narasi. Generalisasi bersifat kuantitatif, sedangkan gambaran atau lukisan bersifat kulalitatif. Dengan demikian maka ilmu kemanusiaan memiliki cara kerja yang subyektif, sedangkan cara kerja ilmu alam bersifat obyektif dalam pengkajiannya.     
Apabila ilmu alam dan ilmu kemanusian terjadi dikhotomi yang kuat dikarenakan cara kerja kedua ilmu tersebut berbeda, maka ilmu sosial mengambil posisi ditengah yaitu, antara ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Karena ilmu-ilmu sosial mengkaji tindakan (action) dan kelakuan (behavior) manusia, mengamati pola struktur, lembaga, yang menunjukkan keteraturan dan keajegan yang kesemuanya mirip dengan hukum-hukum atau dalil yang ada pada ilmu alam. Dengan pola keajegan dan keteraturan pada ilmu sosial, maka ilmu sosial lebih dekat pada ilmu alam.
Pada perkembangan terakhir ilmu sejarah memiliki kedekatan baik dengan ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu sosial. Implikasi dari perkembangan ini maka setiap penelitian membutuhkan kerangka referensi atau kerangka teori sebagai alat untuk menganalisis data. Sebagai bagian dari sub komunitas ilmiah maka sejarah juga memerlukan teori dan metodologi. Dalam perkembangannya, terdapat sebuah teori sejarah. Teori sejarah berkembang sesuai dengan kemajuan keilmuan di zamannya. Masing – masing universitas mempunyai tradisi teori sejarah yang berbeda. Di Amerika, cenderung teori sejarah yang non filosofis. Sedang di Belanda berkembang teori sejarah filosofis.

B. Pengertian Teori dalam Disiplin sejarah
     1) Teori
            Dalam disiplin ilmu sejarah terdapat perkembangan metodologi seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, bahwa sejarah harus memakai bantuan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial agar lebih kuat untuk merekonstruksi masa lampau. Namun pembahasan disini bukanlah teori-teori milik ilmu sosial. Melainkan, apakah sejarah sendiri mempunyai teori tanpa embel-embel (teori) ilmu sosial tentunya. Tanpa mengabaikan anjuran untuk memakai teori-teori ilmu sosial, maka perlu sedikit penjelasan mengenai apa itu teori. Dan disini tidak perlu berdebat mengenai definisi teori yang benar
     Teori dalam disiplin sejarah sering juga disebut kerangka referensi atau skema referensi. Kerangka teori atau kerangka referensi yang kadang disebut skema referensi atau presuposisi merupakan suatu perangkat kaedah yang memandu sejarawan dalam menyelidiki masalah yang akan diteliti, dalam menyusun bahan-bahan yang telah diperolehnya dari sumber-sumber dan juga mengevaluasi temuannya.[2] Kerangka referensi, aliran pemikiran adalah konfigurasi yang sangat umum yang di dalamnya biasanya dikelompokkan sebagian besar wawasan-wawasan teoritis yang relevan dalam ilmu-ilmu sosial.
  Fungsi teori dalam disiplin sejarah sama dengan yang terdapat dalam ilmu-ilmu lain, yaitu untuk mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti, menyusun katagori-katagori, untuk mengorganisasi hipotesis yang melaluinya beberapa macam interpretasi dapat diuji. Teori tidak dapat memberikan jawaban kepada peneliti, tetapi teori dapat membekali peneliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukanterhadap fenomena yang hendak diteliti. Jika seorang sejarawan mengemukakan teorinya secara eksplisit dalam penelitiannya, maka tidak sulit bagi kita untuk menyimak keseluruhan teori yang dipakainya. Sehingga dapat dilihat, apakah teori itu dapat dibuktikan dalam kajiannya ataukah ia hanya dapat membuktikan sebagiannya saja.
Begitu pentingnya penggunaan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial bagi sejarawan, maka para sejarawan harus mengikuti perdebatan yang terjadi para pakar ilmu-ilmu sosial, budaya yang bukan hanya percekcokan masalah terminology, tetapi lebih dalam lagi yakni yang menyangkut konflik-konflik mendasar mengenai sifat dasar fenomena social. Jadi sejarawan yang menggunakan teori-teori social, budaya mau tidak mau harus menerima perselisihan yang berlaku diantara pakar ilmu social, budaya.
Apabila sejarawan dianjurkan menggunakan teori-teori ilmu sosial, bukan berarti ingin menjadikan ilmu sejarah menjadi ilmu sosial atau ilmu budaya, tetapi sebagai konsekwensi logis bahwa sejarah adalah merupakan sub komunitas ilmiah, maka penggunaan konsep dan teori adalah sebuah tuntutan. Manusia secara individu maupun secara kolektif adalah komplek, maka studi mengenai manusia sebagai makhluk sosial mengharuskan orang mengenal konsep-konsep dan teori-teori sosial dan kemanusian.
Agaknya kita perlu mengetahui mengenai tiga konsep besar yang ada dalam sejarah. Yaitu, sejarah common sense, sejarah ilmiah dan sejarah filosofis. Masing-masing dari tiga konsep sejarah diatas, pada dasarnya sudah mempunyai teori sendiri-sendiri. Teori-teori yang ada dalam masing-masing konsep tersebut berkembang dengan sendirinya. Mungkin sedikit susah untuk mencari teori di dalam konsep sejarah common sense. Karena perkembangan sejarah common sense sudah ada sejak zamannya Herodotus dan Thucydides
            Jika teori merupakan sebuah hal yang penting dalam sejarah. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa yang namanya metodologi itu memerlukan sebuah teori dan konsep. Teori dan konsep hanya digunakan sebagai alat analisis dan sintesis sejarah. Oleh karena itu, untuk melengkapi pemahaman tentang teori, maka membicarakan konsep sejarah akan sangat membantu peneliti membuat pertanyaan dan menyelesaikan masalah yang akan diteliti.
2.       Konsep
         Untuk berfikir dan berkomunikasi secara efektif, maka semua manusia membagi-bagi dan mengelompokkan fenomena empiris atas dasar persamaan dan perbedaan-perbedaan. Dengan perkataan lain, manusia itu mengadakan konseptualisasi. Ide umum yang dipakai untuk membagi sesuatu dalam kelas-kelas adalah definisi konsep yang amat luas diterima orang. Konsep dapat juga didefinisikan sebagai kata benda umum manapun. Kekuasaan, kewibawaan, perkembangan, perubahan adalah contoh konsep yang biasa dipakai dalam ilmu
         Konsep melukis katagori tunggal, bukan pertalian antar katagori. Berbeda dengan ini, hipotesis, kerangka konseptual, teori-teori, dan model-model adalah selamanya member gambaran atau menguji pertalian antar konsep.
        Dalam bidang ilmu sosial maka dapat ditemukan tiga jenis konsep, yaitu empiris, heuristic dan metaphysic :
a.      Konsep Empiric, dianggap ada dalam dunia pengalaman. Bagaimanapun samar-samar atu abstraknya, terdapat asumsi bahwa, sesuatu yang dapat dikonseptualisasikan dapat dibuktikan dan diukur dengan panca indera. Melalui sejumlah konsep dapatn diketahui bahwa sesuatu itu dapat ditela’ah secara intelektual untuk tujuan mengidentifikasi berbagai aspek, memisahkannya dan menganalisanya. Jadi konsep adalah, abstraksi dari realitas, untuk menunjuk antara lain orang-orang, prilaku atau kelas-kelas fenomena yang lain.
b.      Konsep Heuristik, tidak dianggap nyata, tetapi digunakan untuk member gambaran mengenai pertalian empiris dan untuk menuntun research. Ahli antrologi, sosiologi, dan ekonomi, dalam mengkaji bermacam-macam selalu mengumpamakan masyarakat tipe ideal. Tipe-tipe ideal tidak dianggap ada tetapi berguna untuk membuat gambaran mengenai pertalian dalam dunia nyata (empiris)
c.       Konsep-konsep Metafisik, tidak mempunyai rujukan atau petunjuk empiris. Konsep-konsep jenis ini tidak dapat ditentukan dan diukur melalului rujukan terhadap data panca indera, dan tidak dapat diumpamakan secara spesifik untuk membantu dalam konseptualisasi pertalian empiris. “Tuhan” dan “huklum alam” adalah konsep-konsep metafisis, tidak dapat diubah untuk menyelidiki dengan metode ilmiah. Kehadirannya dan pengaruhnya harus diterima atas dasar keyakinan.
   
C.     Metodologi dan Metode dalam Disiplin Sejarah
Metodologi sejarah terdiri dari dua kata, yaitu metodologi dan sejarah. Metodologi sendiri berasal dari kata Yunani “metodos". dan kata metodos  terdiri dari dua suku kata yaitu metha yang berarti melalui atau melewati dan hodos yang berarti jalan atau cara. Secara epistimologi metodologi adalah, ilmu atau kajian yang membahas tentang kerangka-keranka pemikiran (frameworks) tentang konsep-konsep , cara atau prosedur untuk menganalisis tentang prinsip-prinsip, yang akan menuntun, mengarahkan peyelidikan dan penyusunan dalam suatu bidang ilmu (dalam bahasan ini adalah ilmu sejarah yaitu, kenyataan tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau)
Fritz Machlup seorang pakar ekonomi dalam bukunya Methodology of Economics and Other Social Sciences menyatakan bahwa :
The Study of principles that guide student of any field of knowledge, and especially of any branch of higher learning (science) in deciding to accept or reject certain propotion as a part of the body of ordered knowledge in genersl or of their own diciplin (science)[3]
      Sejarawan G.J. Renier berpendapat bahwa, metodologi adalah sama dengan filsafat sejarah formal yaitu meneliti logika dan epistimologi sejarah sebagai disiplin ilmu[4]. Filsafat sejarah yang formal ini menurut W.H. Wals dinamakan filsafat sejarah kritis dan di dalamnya dibahas empat masalah yaitu : (1) sejarah dan bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, (2) Kebenaran dan fakta dalam sejarah, (3) obyektifitas sejarah, (4) eksplanasi dalam sejarah.[5]
         Dalam sebuah buku yang cukup menarik karya F.R. Ankersmit mengemukakan antara lain mengenai filsafat kritis (metodologi), yang di dalamnya juga dibahas teori pengetahuan atau epistimologi sejarah. Judul asli buku ini Denken Over Geschiedenis: Een Overzicht van Moderne gescheidfilosoftsche opvttingen, 1984 diterjemahkan oleh Pater Dick Hartoko dengan judul Refleksi tentang Sejarah: Pendapat pendapat moderntentang sejarah (Gramedia: 1987).
              Berlainan dengan metodologi sejarah, maka metode sejarah adalah cara atau prosedur yang sistematis. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah cara atau prosedur yang sistematis dalam merekonstruksi masa lampau. Dalam ruang lingkup ilmu sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah.   Terdapat empat langkah metode sejarah yang wajib hukumnya dilaksanakan oleh sejarawan dalam menulis karya sejarah. Empat langkah tersebut ialah, heuristic, kritik, interpretasi, historiografi.
              Gilbert J. Garraghan dalam bukunya  A Guide to Historical Method mengatakan bahwa, metode adalah, seperangkat azas dan kaidah yang sistematis yang digubah untuk membantu sejarawan secara efektif mengumpulkan sumber-sumber, menilainya secara kritis, dan menyajikan suatu sintesis hasil yang dicapai, pada umumnya dalam bentuk tertulis.[6] Buku mengenai metode sejarah yang terkenal di Indonesia adalah karya Louis Gottschalk, Understanding History yang sudah diterjemahkan oleh Prof. dr. Nugroho Notosusanto dengan judul Mengerti Sejarah juga bisa membantu memahami tentang arti metode sejarah.
Dengan demikian metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah. Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, dan bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana). Artinya, Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?


[1] . Dikutib oleh Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, M.A. pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas gajah Mada, Yogyakarta, 12 Agustus 1985, hal.11
[2]Social Science Reseach (SSRC), The Social Sciences in History Study, A Report of the Communittee on Historiography, 1954,125
[3] Fritsz Mchlup, Methodologi of Economics and Other Sosial Science, 1978, halaman 55
[4] G.J.Renier, History: Its Purpose and Method. New York : Harper and Row Publisher, 1965, hal 84
[5] W.H. Wals, Philosophy of History; Introduction, Revised Edition, 1967, hala. 15-26
[6] Gilbert J.Garraghan, A Guide to Historical Method, 1984