Sekilas tentang Perbincangan ilmu Alam dan Humaniora
Tentang
penulisan sejarah sebenarnya masih terdapat perbedaan pendapat di kubu
sejarawan akademik. Perdebatan ini diakibatkan oleh perbincangan para filsuf,
ahli-ahli ilmu pengetahuan alam dan sejarawan, mengeanai masalah-masalah
metodologi ilmu pengetahuan alam (naturwissenchaften)
dan ilmu-ilmu Humaniora (Geisteswissenchoften)
di abad XIX. Para sejarawan sebagian terpengaruh oleh positivisme dan ada pula
yang terpengaruh oleh idealisme. Yang
pertama berpendapatan bahwa tidak ada perbedaan yang esensial antara berbagai
cabang ilmu, yakni sejarah adalah bagian ilmu pengetahuan alam, yang menangani
secara objektif fakta alam semesta. Pendapat ini berdiri di belakang Fustel de
Coulanges.[1]
Kelompok ini dianggap berusaha mencari kesamaan-kesamaan yang ber-ulang dan
mencari generalisasi dari kesamaan-kesamaan itu. Dominasi pikiran positivis ini
sangat kuat dan berpengaruh sampai abad ke-20.
Perbincangan
tentang ilmu sebenarnya terjadi pada abad ke-19 yang melahirkan aliran
positivisme, yaitu suatu aliran yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam. Para
penggagas aliran positivisme ini berpendapat bahwa, cabang ilmu bisa
digolongkan menjadi ilmu pengetahuan apabila memenuhi syarat, yaitu adanya
dalili-dalil atau hukum-hukum, sehingga mampu membuat generalisi dan prediksi
atau membuat proyeksi ke masa depan. Fakta positivis diolah melalui ilmu-ilmu
alam diterima sebagai fondasi
pengetahuan yang valid. Apabila suatu cabang ilmu tidak memenuhi
kriteria sebagaimana yang dimaksukan oleh aliran positivism, maka tidak
dianggap sebagaimana ilmu. Oleh karena itu ilmu-ilmu selain ilmu alam (kemanusiaan, sosial, sastra, sejarah, filsafat)
menurut aliran positivis tidak dianggap
sebagai ilmu, karena dianggap tidak mampu membuat hukum-hukum atau
dalil. Dominasi pikiran positivis ini
sangat kuat dan berpengaruh sampai abad ke-20.
Dominasi
pikiran positivis ini akhirnya mendapat reaksi dari kaum neo-Kantianis yang
dipelopori oleh Rickert, Windelband, dan Dilthey. Mereka berpendapat bahwa ada
dikhotomi dalam ilmu pengetahuan, yaitu ilmu alam dan ilmu kemanusian
(kebudayaan). Baik ilmu alam maupun ilmu kemanusian masing-masing memiliki kerangka
berpikir dan kedudukan yang sama. Masing-masing
ilmu baik (baik ilmu alam, maupun ilmu kemanusianaan) mempunyai ciri-ciri yang
nantinya akan berpengaruh pada teori dan metologi yang digunakan pada
masing-masing ilmu.
Skema
dikhotomi ilmu
Ilmu alam
|
Ilmu Kemanusiaan
|
Nomotetis
Generalisasi
Deskriptif-analitis
Eksplanasi
Kuantitatif
Obyektif
|
Idiografis
Keunikan
Diskriptif-naratif
Interpretasi
Kualitatif
Subyektif
|
Berdasarkan
dikhotomi di atas menunjukkan adanya perbedaan yang cukup esensial.
Masing-masing ilmu memiliki ciri, sehingga kedua cabang ilmu (ilmu alam dan
ilmu kemanusiaan) masing-masing memiliki otonomi dan memiliki kedudukan yang
sama. Norma ilmu alam tidak dapat dipakai untuk mengukur ilmu kemanusiaan, dan
begitu juga sebaliknya.
Dalam
ilmu alam penemuan sacara ilmiah didapatkan dengan menggunakan dalil atau
hukum, maka dalam ilmu kemanusiaan dengan cara membuat lukisan atau gambaran
tentang kejadian yang unik. Oleh karena itu perbedaan antara ilmu alam dan ilmu
kemanusiaan adalah, jika ilmu alam mampu membuat generalisasi, sedangkan ilmu
kemanusiaan justru memperhatikan hal-hal atau kejadian yang khusus.
Generalisasi dicapai melalui analisis, dan gambaran atau lukisan diperoleh
melalui narasi. Generalisasi bersifat kuantitatif, sedangkan gambaran atau
lukisan bersifat kulalitatif. Dengan demikian maka ilmu kemanusiaan memiliki
cara kerja yang subyektif, sedangkan cara kerja ilmu alam bersifat obyektif
dalam pengkajiannya.
Apabila
ilmu alam dan ilmu kemanusian terjadi dikhotomi yang kuat dikarenakan cara
kerja kedua ilmu tersebut berbeda, maka ilmu sosial mengambil posisi ditengah yaitu,
antara ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Karena ilmu-ilmu sosial mengkaji
tindakan (action) dan kelakuan (behavior) manusia, mengamati pola
struktur, lembaga, yang menunjukkan keteraturan dan keajegan yang kesemuanya
mirip dengan hukum-hukum atau dalil yang ada pada ilmu alam. Dengan pola
keajegan dan keteraturan pada ilmu sosial, maka ilmu sosial lebih dekat pada
ilmu alam.
Pada
perkembangan terakhir ilmu sejarah memiliki kedekatan baik dengan ilmu-ilmu
humaniora maupun ilmu sosial. Implikasi dari perkembangan ini maka setiap penelitian
membutuhkan kerangka referensi atau kerangka teori sebagai alat untuk
menganalisis data. Sebagai bagian dari sub komunitas ilmiah maka sejarah juga memerlukan teori dan metodologi. Dalam perkembangannya, terdapat sebuah teori sejarah.
Teori sejarah berkembang sesuai dengan kemajuan keilmuan di zamannya. Masing –
masing universitas mempunyai tradisi teori sejarah yang berbeda. Di Amerika,
cenderung teori sejarah yang non filosofis. Sedang di Belanda berkembang teori
sejarah filosofis.
B. Pengertian Teori dalam Disiplin
sejarah
1) Teori
Dalam disiplin ilmu sejarah terdapat perkembangan metodologi seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, bahwa sejarah
harus memakai bantuan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial agar lebih kuat untuk
merekonstruksi masa lampau. Namun pembahasan disini bukanlah teori-teori milik
ilmu sosial. Melainkan, apakah sejarah sendiri mempunyai teori tanpa
embel-embel (teori) ilmu sosial tentunya. Tanpa mengabaikan anjuran untuk
memakai teori-teori ilmu sosial,
maka perlu sedikit penjelasan mengenai apa itu teori. Dan disini tidak perlu
berdebat mengenai definisi teori yang benar
Teori dalam disiplin sejarah sering juga disebut kerangka referensi atau
skema referensi. Kerangka teori atau kerangka referensi yang kadang disebut
skema referensi atau presuposisi merupakan suatu perangkat kaedah yang memandu
sejarawan dalam menyelidiki masalah yang akan diteliti, dalam menyusun
bahan-bahan yang telah diperolehnya dari sumber-sumber dan juga mengevaluasi
temuannya.[2]
Kerangka referensi, aliran pemikiran adalah konfigurasi yang sangat umum yang
di dalamnya biasanya dikelompokkan sebagian besar wawasan-wawasan teoritis yang
relevan dalam ilmu-ilmu sosial.
Fungsi teori dalam disiplin sejarah sama dengan yang terdapat dalam
ilmu-ilmu lain, yaitu untuk mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti,
menyusun katagori-katagori, untuk mengorganisasi hipotesis yang melaluinya
beberapa macam interpretasi dapat diuji. Teori tidak dapat memberikan jawaban
kepada peneliti, tetapi teori dapat membekali peneliti dengan
pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukanterhadap fenomena yang hendak
diteliti. Jika seorang sejarawan mengemukakan teorinya secara eksplisit dalam
penelitiannya, maka tidak sulit bagi kita untuk menyimak keseluruhan teori yang
dipakainya. Sehingga dapat dilihat, apakah teori itu dapat dibuktikan dalam
kajiannya ataukah ia hanya dapat membuktikan sebagiannya saja.
Begitu pentingnya penggunaan konsep
dan teori ilmu-ilmu sosial bagi sejarawan, maka para sejarawan harus mengikuti
perdebatan yang terjadi para pakar ilmu-ilmu sosial, budaya yang bukan hanya
percekcokan masalah terminology, tetapi lebih dalam lagi yakni yang menyangkut
konflik-konflik mendasar mengenai sifat dasar fenomena social. Jadi sejarawan
yang menggunakan teori-teori social, budaya mau tidak mau harus menerima
perselisihan yang berlaku diantara pakar ilmu social, budaya.
Apabila sejarawan dianjurkan menggunakan teori-teori ilmu
sosial, bukan berarti ingin menjadikan ilmu sejarah menjadi ilmu sosial atau
ilmu budaya, tetapi sebagai konsekwensi logis bahwa sejarah adalah merupakan
sub komunitas ilmiah, maka penggunaan konsep dan teori adalah sebuah tuntutan.
Manusia secara individu maupun secara kolektif adalah komplek, maka studi
mengenai manusia sebagai makhluk sosial mengharuskan orang mengenal konsep-konsep
dan teori-teori sosial dan kemanusian.
Agaknya kita
perlu mengetahui mengenai tiga konsep besar yang ada dalam sejarah. Yaitu,
sejarah common sense, sejarah ilmiah dan sejarah filosofis. Masing-masing dari
tiga konsep sejarah diatas, pada dasarnya sudah mempunyai teori
sendiri-sendiri. Teori-teori yang ada dalam masing-masing konsep tersebut
berkembang dengan sendirinya. Mungkin sedikit susah untuk mencari teori di dalam konsep
sejarah common sense. Karena perkembangan sejarah common sense sudah ada sejak
zamannya Herodotus dan Thucydides
Jika teori
merupakan sebuah hal yang penting dalam sejarah. Akan tetapi perlu diperhatikan
bahwa yang namanya metodologi itu memerlukan sebuah teori dan konsep. Teori dan
konsep hanya digunakan sebagai alat analisis dan sintesis sejarah. Oleh karena itu,
untuk melengkapi pemahaman tentang teori, maka membicarakan konsep sejarah akan
sangat membantu peneliti membuat pertanyaan dan menyelesaikan masalah yang akan
diteliti.
2.
Konsep
Untuk berfikir dan berkomunikasi secara
efektif, maka semua manusia membagi-bagi dan mengelompokkan fenomena empiris
atas dasar persamaan dan perbedaan-perbedaan. Dengan perkataan lain, manusia
itu mengadakan konseptualisasi. Ide umum yang dipakai untuk membagi sesuatu
dalam kelas-kelas adalah definisi konsep yang amat luas diterima orang. Konsep
dapat juga didefinisikan sebagai kata benda umum manapun. Kekuasaan,
kewibawaan, perkembangan, perubahan adalah contoh konsep yang biasa dipakai
dalam ilmu
Konsep
melukis katagori tunggal, bukan pertalian antar katagori. Berbeda dengan ini,
hipotesis, kerangka konseptual, teori-teori, dan model-model adalah selamanya
member gambaran atau menguji pertalian antar konsep.
Dalam bidang ilmu sosial maka dapat ditemukan
tiga jenis konsep, yaitu empiris,
heuristic dan metaphysic :
a.
Konsep Empiric, dianggap
ada dalam dunia pengalaman. Bagaimanapun samar-samar atu abstraknya, terdapat
asumsi bahwa, sesuatu yang dapat dikonseptualisasikan dapat dibuktikan dan
diukur dengan panca indera. Melalui sejumlah konsep dapatn diketahui bahwa
sesuatu itu dapat ditela’ah secara intelektual untuk tujuan mengidentifikasi
berbagai aspek, memisahkannya dan menganalisanya. Jadi konsep adalah, abstraksi
dari realitas, untuk menunjuk antara lain orang-orang, prilaku atau kelas-kelas
fenomena yang lain.
b.
Konsep Heuristik, tidak
dianggap nyata, tetapi digunakan untuk member gambaran mengenai pertalian
empiris dan untuk menuntun research. Ahli antrologi, sosiologi, dan ekonomi,
dalam mengkaji bermacam-macam selalu mengumpamakan masyarakat tipe ideal.
Tipe-tipe ideal tidak dianggap ada tetapi berguna untuk membuat gambaran
mengenai pertalian dalam dunia nyata (empiris)
c.
Konsep-konsep Metafisik, tidak
mempunyai rujukan atau petunjuk empiris. Konsep-konsep jenis ini tidak dapat
ditentukan dan diukur melalului rujukan terhadap data panca indera, dan tidak
dapat diumpamakan secara spesifik untuk membantu dalam konseptualisasi
pertalian empiris. “Tuhan” dan “huklum alam” adalah konsep-konsep metafisis,
tidak dapat diubah untuk menyelidiki dengan metode ilmiah. Kehadirannya dan
pengaruhnya harus diterima atas dasar keyakinan.
C. Metodologi dan Metode dalam
Disiplin Sejarah
Metodologi sejarah
terdiri dari dua kata, yaitu metodologi dan sejarah. Metodologi sendiri berasal
dari kata Yunani “metodos". dan kata metodos terdiri dari dua suku kata yaitu metha yang berarti melalui atau melewati
dan hodos yang berarti jalan atau
cara. Secara epistimologi metodologi adalah, ilmu atau kajian yang membahas
tentang kerangka-keranka pemikiran (frameworks) tentang konsep-konsep , cara
atau prosedur untuk menganalisis tentang prinsip-prinsip, yang akan menuntun, mengarahkan
peyelidikan dan penyusunan dalam suatu bidang ilmu (dalam bahasan ini adalah
ilmu sejarah yaitu, kenyataan tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau)
Fritz Machlup seorang
pakar ekonomi dalam bukunya Methodology
of Economics and Other Social Sciences menyatakan bahwa :
The Study of principles that guide student of any
field of knowledge, and especially of any branch of higher learning (science)
in deciding to accept or reject certain propotion as a part of the body of
ordered knowledge in genersl or of their own diciplin (science)[3]
Sejarawan
G.J. Renier berpendapat bahwa, metodologi adalah sama dengan filsafat sejarah
formal yaitu meneliti logika dan epistimologi sejarah sebagai disiplin ilmu[4].
Filsafat sejarah yang formal ini menurut W.H. Wals dinamakan filsafat sejarah
kritis dan di dalamnya dibahas empat masalah yaitu : (1) sejarah dan
bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, (2) Kebenaran dan fakta dalam sejarah, (3)
obyektifitas sejarah, (4) eksplanasi dalam sejarah.[5]
Dalam sebuah buku yang cukup menarik karya
F.R. Ankersmit mengemukakan antara lain mengenai filsafat kritis (metodologi),
yang di dalamnya juga dibahas teori pengetahuan atau epistimologi sejarah.
Judul asli buku ini Denken Over
Geschiedenis: Een Overzicht van Moderne gescheidfilosoftsche opvttingen,
1984 diterjemahkan oleh Pater Dick Hartoko dengan judul Refleksi tentang Sejarah: Pendapat pendapat moderntentang sejarah
(Gramedia: 1987).
Berlainan dengan metodologi sejarah, maka metode sejarah adalah cara atau prosedur yang sistematis. Dengan kata lain,
metode penelitian sejarah adalah cara atau prosedur yang sistematis dalam
merekonstruksi masa lampau. Dalam ruang lingkup ilmu sejarah, metode penelitian
itu disebut metode sejarah. Terdapat empat langkah metode sejarah yang
wajib hukumnya dilaksanakan oleh sejarawan dalam menulis karya sejarah. Empat
langkah tersebut ialah, heuristic, kritik, interpretasi, historiografi.
Gilbert
J. Garraghan dalam bukunya A Guide to Historical Method
mengatakan bahwa, metode adalah, seperangkat azas dan kaidah yang sistematis
yang digubah untuk membantu sejarawan secara efektif mengumpulkan
sumber-sumber, menilainya secara kritis, dan menyajikan suatu sintesis hasil
yang dicapai, pada umumnya dalam bentuk tertulis.[6]
Buku mengenai metode sejarah yang terkenal di Indonesia adalah karya Louis
Gottschalk, Understanding History yang sudah diterjemahkan oleh Prof. dr.
Nugroho Notosusanto dengan judul Mengerti Sejarah juga bisa membantu memahami
tentang arti metode sejarah.
Dengan demikian metode penelitian
sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as
past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang
lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah. Metode
sejarah digunakan sebagai metode penelitian, dan bertujuan untuk menjawab enam
pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu
what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how
(bagaimana). Artinya, Apa (peristiwa
apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana
proses terjadinya peristiwa itu?
[1] . Dikutib oleh Prof. Dr. T.
Ibrahim Alfian, M.A. pada Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas gajah Mada, Yogyakarta, 12
Agustus 1985, hal.11
[2]Social Science Reseach (SSRC), The Social Sciences in History Study, A
Report of the Communittee on Historiography, 1954,125
[3] Fritsz Mchlup, Methodologi of Economics and Other Sosial Science,
1978, halaman 55
[4] G.J.Renier, History: Its Purpose and Method. New York :
Harper and Row Publisher, 1965, hal 84
[5]
W.H. Wals, Philosophy of History;
Introduction, Revised Edition, 1967, hala. 15-26
[6]
Gilbert J.Garraghan, A Guide to
Historical Method, 1984